DIA
DIA
Di senja penuh keheningan ini
Aku sendiri,
menepi, menjauh riuhnya ramai
Di sudut rumah yang penuh damai
Di kota dingin yang penuh arti,
Sembari menanti hadirnya "DIA"
Yang kusebut "Pencipta".
Sejenak aku tersenyum bahagia
Merenungkan segala cerita
Di setiap waktu bersama "DIA",
Dambaan hidup,
Yang tak dapat kuraba,
tak dapat kulihat dengan mata,
Cukup kurasa dengan cinta
Dialah yang kusebut "Pencipta".
Perlahan aku memejamkan mata
Berharap aku menemukan makna cinta
Yang memberiku sejuta rasa,
Yang hanya berpaut pada "DIA"
Yang selalu kusebut "Pencipta".
Terpaan angin senja menusuk kalbu
Membangunkan aku dari lamunanku
Menyadarkan aku dari hayalanku
Perlahan aku menyadari
Terlalu lama aku di sudut ini
Menanti "DIA"
Yang selalu kusebut "Pencipta".
Aku perlahan membuka mata
Membangunkan jiwa raga
Yang tak lagi berjaga.
Kupandang di sekitarku,
tak ada manusia
Tatapanku hampa tak bermakna
Serentak aku merasa
Di dekatku tak ada siapa-siapa,
Tiada "DIA" yang selalu kusebut "Pencipta".
Suara burung berkicau riuh
Melantunkan nada indah
Penuh irama
Seakan mengajakku berdansa
Walau aku merasa
Aku sedang tak bersama "DIA"
Yang selalu kusebut "Pencipta"
RINDU TAK SAMPAI
(Kamis, 14-02-2019)
Kutuliskan kisah hidupku dalam sebuah lembaran kosong, bersih, bening bercahaya, dalam lembar yang tak pernah digoresi, dicoreti warna apapun. Sepertinya lembaran itu masih perawan, belum ada yang pernah menyentuhnya. Hari itu menulis sembari melamun, memikirkan seorang lelaki tua, menantikan wujudnya di malam kelam tak bercahaya, di malam tak bersuara dalam suasana hening, dalam situasi yang memilukan, dalam penantian yang sebetulnya tidak pasti, sebuah harapan yang sebenarnya tak akan mungkin terjadi di malam itu. Lelaki tua yang ada dalam lamunanku itu adalah sang ayah. Waktu sudah menunjukkan pukul 22:05, itu berarti orang-orang serumah dan tetangga sudah pada ngorok dan mungkin masing-masing mereka sedang berlabuh di dunia malam, mencari jati diri dalam mimpi. Namun di tengah kesunyian malam itu aku masih duduk termenung sendirian di tenda depan rumahku yang dibangun oleh sang ayah empat tahun silam, namun tenda itu masih kelihatan kokoh bagaikan bangunan-bangunan tua di Yerusalem. Dalam kesendirian itu aku teringat sosok lelaki tua yang berjenggot, berkulit hitam manis, berpostur tinggi dan parasnya yang sangat tampan seperti diriku. Mungkin itu salah satu alasan mengapa dulu mama jatuh hati kepadanya. Ia pernah berbagi rasa, kebahagiaan, tawa, tangis, canda ria bersama aku dan seluuruh anggota kelurgaku. Lelaki itu tak lain ialah orang yang sudah menghadirkan aku dan saudaraku di dunia yang kejam ini, dunia yang tega mengambil kebahagiaanku, mengambil sang ayah yang kini sudah memulai kehidupan baru bersama kekasih pilihannya. Dunia yang kutempati saat ini seolah-olah tidak lagi berpihak kepadaku.
Aku tidak pernah menyangka peristiwa memilukan ini harus menjadi kawan seperjalananku saat ini. Secepat itukah engkau meninggalkan kami, oh ayah? Gumamku dalam hati seakan aku tidak mau menerima kenyataan pahit itu. Sesaat aku pun tersadar ada cairan yang keluar dari kelopak mataku, ternyata aku sedang menangis. Aku menangis merindukan kehadiran sang ayah. Secepat kilat ku letakkan jari-jari tanganku ke sumber cairan itu dan segera mengusap air mata yang sebenarnya tidak harus mengalir di pipiku di malam itu. Suasana nampak hening. Pilu bercampur rindu, tak ada suara yang keluar dari mulutku, hanya desahan nafas sembari meratapi nasibku yang malang. Aku semakin terpukul dalam kesedihan ketika kulihat lagi kenangan yang ada dalam galeri handphoneku beberapa foto lelaki tua yang mengumbarkan senyuman yang indah pertanda bahwa ia sedang bahagia memandang seorang perempuan di sebelahnya, sosok seorang perempuan yang pernah dicintainya, yakni mama; mama yang sudah melahirkan aku. Dalam foto itu mereka kelihatan mesra, saling berpelukan seakan-akan dunia ini milik mereka berdua. Wanita itu tak lain adalah mama, sosok seorang perempuan yang tegar, orang yang paling kami sayangi, motivator yang hebat bagi kami dikala suka duka mewarnai kehidupan kami. Relung batinku semakin hancur berkeping-keping menatap foto-foto itu. Foto-foto yang bagiku sangat berharga, sebuah harta dan permata indah yang aku miliki saat ini. Air mataku terus mengalir tanpa henti bagaikan air yang mengalir di sungai gangga, yang memberikan kehidupan bagi mahluk di sekitarnya. Namun aku pun sadar air mataku tak akan memberikan arti apa-apa bagi orang lain, air mata yang mungkin saja membuat orang lain lebih menderita. Air mataku adalah sebuah tanda kesedihan, kepedihan yang mendalam. Dalam kesedihan itu aku tak ditemani siapa-siapa, aku sendirian ditemani kesunyian malam yang sangat mencekam dan langit yang bertaburan bintang-bintang. Aku merasa bahwa mereka mendengarkan tangisanku, mengerti situasiku saat itu. Tetapi mengapa mereka tak bersuara? Tanyaku mengharapkan sebuah jawaban pasti. Aku seolah-olah sedang mengadili mereka, meski aku tahu dan menyadari bahwa mereka tak bersalah sama sekali. Kembali ku menatap langit dalam-dalam berharap Sang pemberi hidup melihat dan mendengarkan jeritanku, mengerti situasiku saat itu. Lagi-lagi keheninganlah yang ku rasakan. Kesedihanku semakin mendalam. Aku semakin terpuruk dalam keadaanku. Tetapi kali ini aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Bukan Tuhan, bukan ayah, bukan aku dan keluargaku, gumamku dalam hati sambil menebah dadaku perlahan-lahan. Tapi pikiranku selalu bertanya-tanya seolah tak puas, tak menerima kenyataan. Siapa yang harus ku persalahkan? Gerutuku dalam hati kecilku. Pertanyaanku semakin menjadi-jadi. Suara hatiku kembali menjawab" akan tetapi kali ini aku merasakan ada sesuatu yang mendorong suara hatiku untuk berkata-kata dan aku yakin suara itu berasal dari Roh Kudus. Bisikan suara itu menggema di telingaku sampai ke dasar- dasar sukmaku. Suara itu berkata! Andre, anak-Ku, yang sangat kucintai dengarkanlah Aku. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Engkau tidak boleh menyalakan siapa-siapa. Berharap dan berdoalah kepada Sang empunya kehidupan, Ia akan mendengarkan doa-doamu. Percayalah ayahmu akan segera kembali dalam waktu yang dekat. Bulu kudupku berdiri seketika, seluruh tubuhku merinding mendengar suara itu tetapi aku tidak merasa ketakutan sebagaimana orang sedang berjalan dalam kegelapan malam, tak ada cahaya, sepi seperti sedang berada di tengah kuburan. Dalam sekejab mata akupun tersadar dari khayalanku, sesungguhnya aku tidak berada di tempat gelap itu. Aku bahagia mendengar suara itu. Saat itu aku merasa bahwa aku hidup kembali, aku bangkit dari keterpurukan yang sekian lama mati termakan situasi yang begitu perih. Aku merasa aku tak pernah sendiri, ada Dia di sampingku yang memberi kekuatan. Kembali kumengarahkan mataku ke layar handphoneku yang tak jauh kuletakkan tepat di sebelah kanan tempat aku duduk.
Oh my God!!!! Ucapku serentak sembari memukul dahiku. Ternyata waktu sudah berlabuh ke pukul 23:35. Kata-kata itu serentak keluar dari tenggorokanku sembari aku tersenyum sendiri seketika bagaikan orang-orang yang sedang dikagetkan temannya. Senyuman semringahku kembali melebar. Senyumku begitu sederhana namun mampu merubah wajahku yang sebelumnya layu khusuk tak berwarna bagaikan pertapa yang hidup di padang gurun selama bertahun-tahun. Aku tak lagi hidup dalam kehampaan. Aku telah menerima kembali kebahagiaanku yang hampir lenyap. Namun aku tahu pasti dan satu hal yang tak bisa kupingkiri dan aku tak bisa menyembunyikan itu dari raut wajahku. Bibirku tak akan pernah bisa berhenti menjerit, mulutku selalu membisikkan kata-kata ini di telingaku, " ayah......aku merindukan engkau". Sesaat setelah itu aku mendengar suara dari dalam rumah. Sepertinya suara seseorang yang sedang membuka pintu. Segera kubalikkan mukaku kearahnya. Ternyata orang itu adalah mama. Percakapan singkat pun terjadi di malam itu. Mama mengawalinya dengan sebuah pertanyaan dan pernyataan. Nak! Mengapa engkau belum tidur? Ini sudah larut malam. Ungkapan yang begitu sederhana namun begitu menusuk relung jiwaku sebab mama tidak tahu apa yang kurasakan saat itu. Aku sengaja menyembunyikannya dari mama karena aku tidak mau menambah luka di hatinya. Aku semakin tidak tega melihat mama. Dengan suara tergesa-gesa aku menjawab mama. I..............ya.. iya ma! Aku akan segera tidur. Aku segera meninggalkan tenda itu dan melangkahkan kakiku menuju tempat tidurku. Malam itu aku masih belum bisa memejamkan mataku. Mataku susah diajak bernegosiasi. Satu harapanku malam itu berharap Tuhan mempertemukan aku dengan ayah walau hanya dalam mimpi.
BIODATA PENULIS
Nama: Belarminus Budiarto
Sapaan: Armyn
TTL: Namut, 17 September 1997
Jenis Kelamin: Laki-laki
Status: Mahasiswa
Alamat tinggal: Malang
Riwayat Pendidikan:
SDI- SMP: NEGERI 1 RUTENG-CANCAR,
SMAK: ST. MARIA ITENG
Anak kedua dari empat bersaudara
Nama orangtua:
Ayah: Waldus Pantur
Ibu: amadea Unul
Comments
Post a Comment